Sluman, Slumun….Slamet…..

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Pepatah mengatakan, sluman slumun slamet, sebuah ungkapan doa permohonan atau pengharapan dengan memasrahkan diri akan selamat.

Namun di era sekarang ini untuk selamat diperlukan sluman slumun (melakukan sesuatu?). Apa yang sebenarnya terjadi sehingga sluman slumun begitu dipuja dan didahulukan daripada selamatnya?

“Selawe njaluk slamet”? Tanpa modal atau modal kecil selamat? Selamat dalam konteks ini dipahami bisa ikut arus dan masuk dalam kroni atau grup kekuasaan.

Siapa melawan, berani ngrasani saja akan sudah dimatikan. Akankah standar slamet yang sluman slumun terus dipertahankan atau malah ditumbuh kembangkan?

Selamat sebenarnya basisnya adalah karena kompetensi, ketulusan, keiklasan dan dari budi baik sehingga pikiran, perkataan serta perbuatan di ridhoi Tuhan. Sluman slumun slamet, slamet seko kersaning Allah.

Sedangkan slamet yang sluman slumun bisa saja selamat karna prewangan atau karena perlindungan patronnya sehingga bagi yang selamat memang hanya kelas pupuk bawang dan unthul munyuk tanpa kompetensi.

Analoginya bagai bedhes bandulan yang hanya itu itu saja yg dikerjakan dan hanya di situ-situ saja yg diunggulkan. Status quolah yang dipertahankan dan dijadikan zona nyamannya untuk terus bermain bandhulan sebagai analogi atas segala previlagenya.

Berkah selamat para kaum bandhulan terus saja menjadi kebanggaan dan diunggul-unggulkan, sehingga bedhes-bedhes ini dijadikan ikon masa depan dan putra mahkotanya.

Slamet yang sluman slumun adalah keselamatan yang penuh rekayasa dan tipu daya. Disini sebenarnya sluman slumun bagai keunggulan-keunggukan semu, apresiasi-apresiasi titipan, dan penjilatan-penjilatan serta semua produk titipan yang penuh kepura-puraan.

Dongeng-dongeng tentang keluguan dan kedunguan nasarudin hoja, plesetan-plesetan dagelan gareng petruk bagong pun sepertinya sedang diimplementasikan pada kehidupan alam demokratis ini.

Sumber daya sangat menggiurkan dan menjadi daya tarik sehingga menjadi potensi konflik. Siapa kuasa, siapa kuat akan mampu mendominasi dan mengangkanginya dari hulu sampai dengan hilir.

Aturan legal formalpun dibuatnya demi sumber daya. Tatkala negara ini hanya mengaku demokrasi, namun melemahkan polisi dan bersiap-siap menggantinya dengan preman-preman baru maka sebenarnya demokrasi adalah milik yang berkuasa dan yang mempunyai massa saja.

Sudah barang tentu rakyat yang semestinya berdaulat akan jadi ampas dan bulan-bulanan serta dikorbankan saja.

Ini menjadi bukti supremasi hukum hanya lip service saja, percaturan kekuasaan diisi kaum kroni dan cantrik-cantriknya.

Bentuk pelayanan kepada publik bisa dibayangkan dan dipastikan seadanya, sebisanya yang parah lagi seenak aparatnya.

Jangankan transparan dan akuntabel, baru akan nanya pasti sudah dimarahi, diancam atau diberi pilihan roti atau borgol? Yang jelas sang penguasa sumber daya yang seharusnya (rakyat) hanya akan kecipratan saja dan sebagai orang kecipratan harus siap ngawulo dan ngalap berkah.

Penguasa hanyalah boneka golekan saja yang tergantung dalangnya. Siapa penguasa sesungguhnya? Para broker, selang tukang sedot dan pembisik saja. tanpa resiko aman, nyaman dan penghasilan paling besar.(CDL-Jkt09115)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share
Leave a comment