Siapa Sudi jadi Ganjel?

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Menjadi ganjel memang tidak enak, sebatas tambal butuh. Ganjel dapat dipastikan mengisi kekosongan atau menyeimbangkan yang timpang.

Parahnya lagi ganjel merupakan pijakan, untuk menghadapi tekanan dan ancaman bahkan untuk menjadi tameng atau bumper atas serangan-serangan. Bagi yang menjadi ganjel mau tidak mau menerimanya.

Mau apa lagi dan mau bagaimana lagi. Ganjel memang diposisikan terjepit dan bisa jadi sebagai tumpuan harapan dan pengkambing hitaman.

Orang-orang yang menjadi ganjel adalah kelompok-kelompok yang dibutuhkan namun tidak diinginkan. Bisa saja mereka sebenarnya ditumbalkan diposisikan sebagai tangga pijakan bagi kesuksesan orang lain.

Para kaum ganjel akan diposisikan pada posisi-posisi rawan dan penuh dengan uji nyali, tatkala sudah seimbang, aman maka ganjel tidak diperlukan lagi bisa saja diambil dan dicampakkan.

Ada yang masih sedikit sopan dengan memberinya promo singkir, nampaknya dipromosikan namun faktanya disingkirkan.

Ganjel memang tidak nyaman, tidak aman dan sama sekali tidak enak. Baik sukses adalah wajar saja namanya juga ganjel.

Tatkala bermasalah ia jadi tumbal dan di kambing hitamkan sebagai penanggung semua dosa dan kesalahan.

Kaum ganjel sebenarnya sadar dan memahami apa yang menjadi posisi dan keberadaannya, jasa tak akan dihimpun tatkala salah dianggap sebagai dosa yang tak terampun.

Prinsip dan spirit kaum ganjel adalah “nek slamet iso mukti, yen ora mesti mati”. Iso mukti itu belum tentu masih ada pertimbangan-pertimbangan lain dan kalau salah pasti mati atau dimatikan.(CDL-Jkt04115)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share
Leave a comment