Papua Minta Jatah Saham Freeport

Freeport Papua
Freeport Papua

TRANSINDONESIA.CO – Pemerintah Provinsi Papua menginginkan jatah saham PT Freeport Indonesia yang akan didivestasikan pada Oktober ini. Hanya saja, daerah terkendala masalah pendanaan.

Sekretaris Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua Fred Boray menyatakan, apabila benar ditawarkan, pemerintah daerah mau saja mengambil jatah tersebut. Namun, menurutnya, pemda terpaksa harus mencari pinjaman alias utang dari asing untuk menebus saham yang didivestasikan Freeport.

Fred melanjutkan, ide untuk berutang kepada pihak asing demi mendapat saham Freeport tentu bertentangan dengan niat awal pemerintah untuk nasionalisasi Freeport.

Dua tahun lalu kata Fred, sempat ada negosiasi dengan Freeport untuk mendapat saham sebesar 9,6 persen kepada daerah. Freeport menawarkannya dengan nominal kurang lebih Rp20 triliun.

“Nah kita mau dapat dana sebesar itu dari mana. Gini, kita kan ingin nasionalisasi. Nah kalau butuh dana itu paling kita cari utang ke luar negeri. Kan nanti sama saja jatuhnya tidak nasionalisasi,” kata Fred, kemaren.

Meski demikian, keputusan mengenai divestasi ini bergantung pada pemerintah pusat. Karena, urutan prioritas pelepasan saham Freeport adalah pemerintah pusat, BUMN, BUMD, lantas swasta. Fred mengatakan, pemerintah daerah sepenuhnya akan menunggu hasil dari pusat dan kebijakan Gubernur Provinsi Papua. Pemda, lanjutnya, ingin memastikan bahwa penerimaan daerah setimpal dengan harga saham yang ditawarkan.

“Tapi kami mau kalau boleh alangkah baiknya dengan lahan yang ada, karena Freeport di Papua, mending sahamnya dikasih ke Papua tanpa pemerintah harus membeli karena itu lebih terhormat,” ujar Fred.

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said meminta kepada semua pihak untuk bersabar. Pemerintah pusat memastikan bahwa Freeport mau berkoordinasi untuk menawarkan sahamnya dalam waktu dekat. Perlu diketahui, sejatinya per 14 Oktober lalu Freeport sudah mulai menawarkan sahamnya kepada pemerintah. Hanya saja perusahaan yang berbasis di AS ini mengulur waktu dengan alasan ingin menunggu revisi PP nomor 77 tahun 2014.(Rol/Kum)

Share
Leave a comment