Penegak Hukum Cari Korban atau Menunggu yang Dikorbankan?

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Tatkala hukum menjadi bagian dari simbol kekuasaan atau milik dominan dan mendominasi, maka hukum akan kehilangan karakternya sebagai simbol peradaban dan keadilan.

Hukum akan menjadi alat untuk menutupi atau sbg kamuflase atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan dan bahkan kejahatan yang dilakukan bias saja dianggap benar atau dibenarkan dan berlindung atau terlindungi oleh hukum itu sendiri.

Tatkala para penegak hukum sudah kehilangan jatidirinya dan terseret arus deras dalam kekuasaan, penguasaan dan berbagai kepentingangan maka penerapan hukum bukan lagi untuk keadilan, jauh dri pembangunan peradaban.

Hukum akan menjadi topeng, tameng, alat bagi yang mampu mendominasi dan dominan dalam segala lini, sehingga untuk melanggengkan pengeksploitasian sumber daya dan pendistribusian sumber daya secara tidak fair dapat berlindung pada kangkangan atau ketiak hukum.

Pembenaran secara politik, ekonomi, sosial, mungkin bisa terjadi. Namun pembenaran secara etika bagi pejabat publik pasti tidak bisa diterima, karena landasan pada etika publik bagi penegak hukum adalah keutamaan dan moral.

Penegak hukum mestinya mampu menunjukkan keutamaannya sebagai sang pembela kebenaran dan keadilan. Berani melawan berbagai intervensi, tidak tergoda suap atau keinginan untuk memeras dan tidak pula tebang pilih.

Tatkala penegak hukum sudah lirak lirik kesana kemari dan tidak lagi memegang keutamaan, maka cepat atau lambat akan rontok kewibawaan bangsa.

Tatkala penegak hukumnya sakit, maka harga diri bangsa di mata dunia juga akan digolongkan sebagai kelas pecundang karena dilabel bukan pembangun peradaban tapi justru dijudge sebagai aparatur yang mengajarkan kebiadaban dan merusak peradaban.

Karena penegakkan hukum akan dikendalikan untuk mencari korban dan untuk pengalihan isu dicarilah siapa yang akan dikorbankan.(CDL-Jkt290915)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share
Leave a comment