Sudahkah Guru Menjadi Kunci Pendidikan?

Hoegeng
Hoegeng

TRANSINDONESIA.CO – Guru merupakan tokoh sentral dalam pendidikan untuk mengajarkan, mentransformasi, memotivasi, menginsprasi,  mendampingi, menjadi konsultan bagi murid-muridnya untuk mampu menjadi dirinya sendiri.

Kompas senin 27 Oktober 2014 membahas peran guru dalam pendidikan, yang dalam bahasannya menjelaskan guru menjadi kunci dalam penddikan.

Dalam konteks ini adalah karakter anak didiknya . Spiritualitas guru inilah yang hendaknya menjadi acuan dalam pendidikan berkrakter.

Kita masih ingat dan tercatat dalam sejarah bagaimana guru-guru kita mengajar di Malaysia. Mereka mengimpor guru-guru handal dari Indonesia untuk membangun karater bangsanya.

Guru selayaknya ditempakan pada kelas tertinggi sebagai golongan terhormat, karena merekalah yang membuka pintu dan jendela  pengetahuan sehingga dapat majunya peradaban suatu bangsa.

Pada kenyataanya, menjadi guru bukanlah idola. Karena penghargaan yang kurang, kesejahteraan yang pas-pasan. Sehingga banyak guru yang terpaksa mengambil langkah yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang guru.

Dengan berbagai alasan untuk memenuhi kebutuhanya, dari memberi bocoran ujian dan menjual nilai.

Guru di lembaga pendidikan

Kepolisianpun semestinya juga sama dengan posisi guru-guru lainya secara ideal yaitu, punya kompetensi, punya idealisme dan menjadi role model bagi siswa/siswinya untuk melihat seorang Polisi yang profesional, cerdas, bermoral dan modern.

Apakah faaktanya seperti posisi guru yang ideal? Tentu saja tidak.

Mengapa demikian? Core value yang aktual sekarang ini bukan pada yang ideal. Polisi dilihat sebagai pejabat, petugas-petugas Polisi  yang dekat dengan penguasa/kekuasaan, yang pandai cari uang, yang pandai melayani, yang loyalitasnya kepada pejabat hebat setengah mati,  jago untuk kasak kusuk dan sogok menyogok.

Merka bukan profesional melainkan pejabat-pejabat produk hutang budi, produk dekat dengan penguasa dan sebagai safety player.

Dengan demikian, posisi sebagai guru akan dipandang sebelah mata bahkan terabaikan. Yang lebih parah lagi, apabila dijadikan tempat buangan atau penghukuman bagi orang-orang yang bersalah, bermsalah atau dianggap sebagai pembangkang.

Hal tersebut tidak boleh terjadi, karena dampak pengabaian terhadap guru di lembaga pendidikan adalah buruknya kualitas SDM.

Tatkala SDM buruk maka produk kinerjanya akan berdampak buruk juga, yang membuat institusi citra buruk yang muaranya ketidak percayaan.

Guru dari kata “gu” yang bermakna kegelapan dan “ru” membuat terang. Guru adalah sang pencerah, yang menginspirasi. Dimana murid akan merekam perilaku sang guru bukan apa yang diomongkan dan diajarkan saja.

Guru yang hebat akan menerangkan yang rumit dengan cara sederhana dan sebagai inspirator, morivator, fsilitator, dan pemberi energi positif kepada murid-muridnya.

Guru “digudu lan ditru”

Guru pekerjaan mulia pencetak orang-orang hebat dan dia tetap saja pada posisinya namun, jasanya tak lekang oleh ruang dan waktu.

Lagu Oemar Bakri karangan Iwan Fals menganalogikan  betapa hebatnya perjuangan guru yang disia-siakan walau hidupnya penuh perjuangan dan menghasilkan banyak orang penting dan hebat.

Tat kala akan menghasilkan bangsa yang hebat maka, sangat tergantung dari berapa banyak guru yang hebat tersedia.

Pasca bom atom di Hirosima dan Nagasaki yang meluluh lantakan Jepang,  yang ditanyakan Kaisar Hirohito adalah, berapa banyak guru yang masih ada.

Disini menunjukan betapa besar perhatian sang Kaisar pada SDM sebagai aset utama bangsa. Ketika kepolisian akan membangun institusinya menjadi hebat maka, guru-guru hebat tersedia disemua lembaga pendidikan kepolisian.

Sebaliknya, tat kala tidak tersedianya guru-guru hebat atau minimnya guru hebat maka institusi kepolisian akan lebih banyak jalan ditempat, dan jangan-jangan malah mundur kebelakang.(CDL-Jak091114)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share
Leave a comment