Budaya Politik Indonesia

Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syafii Maarif

TRANSINDONESIA.CO – Dalam arti longgar, budaya politik (political culture) bertalian dengan serangkaian sikap dan praktik yang dipegang oleh sejumlah orang yang membentuk perilaku politiknya. Termasuk di dalamnya pertimbangan moral, mitos politik, kepercayaan, dan gagasan tentang apa yang dapat membuat sebuah masyarakat itu menjadi baik.

Dengan kata lain, kebaikan buat semua adalah esensi dari budaya politik yang sehat. Pertanyaannya untuk Indonesia sekarang, apakah budaya politik yang sedang berlangsung pada tahun ini menyiratkan harapan untuk kebaikan bangsa ini secara keseluruhan jika ditempatkan dalam parameter Pancasila dan nilai-nilai luhurnya?

Jika jawabannya positif, berarti bangsa dan negara ini sudah berjalan di atas rel yang benar. Namun, jika jawaban itu negatif, maka apa yang salah dengan budaya politik kita? Analisis di bawah memberikan kebebasan bagi pembaca untuk menentukan pertimbangan masing-masing.

Sebenarnya budaya politik itu lebih dikendalikan oleh kaum elite. Rakyat biasa pada umumnya tinggal mengikuti saja, sadar atau karena bujukan uang. Di Indonesia kontemporer, apa yang dikenal dengan politik uang sudah bukan berita lagi. Hampir semua lini kegiatan partai plus elitenya, dan perorangan untuk berebut posisi sebagai anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), empat orang pada tiap-tiap provinsi, permainan uang itu sudah mewabah.

Jumlahnya bergantung pada isi kandung para pemain. Bohong besar jika para pemain itu mengatakan bebas dari politik uang. Seorang politikus berbakat dari sebuah partai ketika saya tanyakan mengapa dia gagal ke Senayan, jawabannya polos: “Kalah uang.” Dengan demikian tuan dan puan jangan terlalu berharap kepada mereka yang berhasil duduk menjadi anggota DPR (pusat atau daerah) benar-benar akan menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagian mereka itu hanyalah mewakili isi kantongnya, baik melalui utang atau harta pribadi bagi mereka yang kaya.

Adapun mengenai pertimbangan moral pada umumnya sudah dilumpuhkan oleh pragmatisme politik yang konyol. Dari pantauan saya, hanyalah sedikit sekali di antara para “wakil” itu yang benar-benar bermental patriot-petarung untuk membela kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan.

Memang ada juga bentuk pertarungan lain di Senayan, tetapi jangan salah nilai, mereka bertarung bukan untuk kepentingan rakyat. Pertarungan mereka hanyalah didorong oleh politik kekuasaan tanpa pertimbangan akal sehat dan sikap adil. Mereka yang tersudut dalam pertarungan tampaknya kehilangan keseimbangan, lalu membentuk kekuatan tandingan, sesuatu yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Indonesia merdeka.

Siapa yang dirugikan oleh akrobatik politik yang menyebalkan ini? Bukan mereka karena mereka tetap digaji saban bulan yang diambilkan dari APBN. Yang pasti celaka adalah rakyat karena kelakuan politisi Senayan itu bisa menghambat program-program pemerintah yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas kehidupan rakyat yang sudah sekian lama kurang mendapat perhatian.

Di sisi lain, Kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dibentuk di bawah slogan profesionalisme, dalam kenyataannya fenomena politik dagang sapi tidak dapat dihindarkan. Politik inilah yang menyebabkan ada kekuatan moral masyarakat sipil yang tidak punya saluran partai dianggap sebagai aksesoris belaka. Bagi saya, semuanya ini menunjukkan bahwa peradaban politik Indonesia yang dikembangkan masih belum naik kelas.

Budaya politik yang serbainstan dan nyaris tidak terkait dengan masa depan bangsa dan negara harus dihentikan sekarang dan untuk selama-lamanya jika memang Indonesia mau dibangun di atas pilar keadilan tanpa diskriminasi. Kekuatan sipil yang secara masif telah membantu bangsa dan negara harus diperlakukan dengan wajar dan proporsional. Tidak perlu dimanjakan. Sebab, kekuatan ini lahir dan telah berbuat sesuatu yang sangat strategis untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan menyantuni manusia telantar, jauh sebelum Indonesia sebagai negara muncul ke peta dunia.

Mengabaikan kekuatan ini sama artinya dengan membiarkan mereka terluka, sekalipun mereka tidak akan pernah berhenti beramal untuk kepentingan sesama. Di tengah pertarungan pragmatisme politik, seorang negarawan tidak boleh hanyut di dalamnya. Kompas moral wajib selalu dikedepankan sebagai acuan yang benar. Di luar itu, budaya politik Indonesia masih akan terus digerogoti virus yang siap mengancam rasa keadilan publik.(rol/fer)

Share
Leave a comment