Ini Untung Rugi Pilkada Langsung Vs DPRD

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Polemik pemilihan Kepala Daerah melalui perwakilan DPRD atau pemilihan langsung mencuat ke publik. Ini terkait dengan pembahasan yang saat ini berlangsung di DPR. Apa untung rugi dua sistem tersebut?

Debat publik soal tata cara pemilihan kepala daerah semestinya diletakkan dalam bingkai sistem demokrasi konstitusional. Tata laksana Demokrasi merujuk pada rujukan tunggal yakni konstitusi dan peraturan perundang-undangan turunannya. Pasal 18 ayat (4) menyebutkan Gubernur, Bupati, Walikota dipilih secara demokratis. Kata demokratis inilah menjadi pintu diskusi bagi kedua belah pihak pendukung dua ide tersebut.

Bagi yang menolak gagasan kepala daerah melalui DPRD, argumentasi yang dimunculkan di antaranya pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD semakin mempersempit peluang calon independen/non partai maju menjadi kepala daerah. “Ada peluang (calon kepala derah independen), tapi jauh lebih rumit. Biayanya lebih besar karena dua tahap, membeli suara untuk dicalonkan dan membeli suara untuk menang,” kata Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (8/9/2014).

Didik menepis anggapan bila Pilkada langsung menyuburkan praktik politik uang di masyarakat. Menurut dia, praktik politik uang terjadi dikarenakan kandidat yang melakukan praktik tersebut, bukan karena faktor pemilih.

Hal senada ditegaskan pengamat hukum tata negara Refly Harun. Menurut dia, biaya yang mahal dalam Pilkada tidak bisa disandingkan dengan pilkada secara langsung. Ia menyebutkan, biaya yang hanya bisa dihemat dalam pilkada melalui DPRD hanya di honor petugas pilkada. “Soal politik uang, kalau kita tegas terhadap praktik-praktik tersebut, itu bisa ditekan,” kata Refly.

Dia menyebutkan satu hal yang penting dalam pilkada langsung, yang harus digarisbawahi oleh pengawas pemilu terkait dengan dana kampanye. Menurut Refly, dana kampanye menjadi titik pangkal menciptakan pemilu yang jujur dan adil.

Sementara Direktur Eksekutif Populi Center Nico Harjanto mengatakan pemilihan kepala daerah secara langsung justru mendorong masyarakat untuk lebih melek politik karena terjadi pendidikan politik dan kedewasaan politik. “Jangan lari ke sistem lain karena sistem langsung belum sempurna tapi justru harus diperbaiki,” imbau Nico.

Terkait kekhawatiran terjadinya konflik horizontal di akar rumput, Nico mengatakan hal tersebut sangat tergantung pada sikap elit politik. Menurut dia, faktor kedewasaan politik menjadi kuncinya.

Terpisah, pengajar komunikasi politik Universitas Paramadina Herdi Sahrasad menilai pilkada melalui DPRD justru meminamalisir terjadinya pelanggaran hukum di lapangan. “Di berbagai daerah, pilkada langsung tidak linier dengan kualitas pemimpin yang dihasilkan. Setidaknya 60 persen kepala daerah terkait dengan kasus hukum,” ujar Herdi usai diskusi di Gedung MPR, Kompleks Parrlemen Senayan Jakarta.

Menurut dia, dari sekian ratus pilkada yang terjadi di Indonesia tidak banyak kepala daerah yang dianggap berprestasi membangun daerahnya. Ia mencontohkan figur seperti Jokowi tidak dominan di daerah-daerah hasil Pilkada langsung. “Memang Jokowi dipilih secara langsung, tapi model seperti dia tidak banyak,” kata Herdi.(ini/fer)

Share
Leave a comment