TRANSINDONESIA.CO – “Greg”, disini penulis meminjam istilah dari (almarhum) pelukis Widayat, yang diartikan sebagai getaran jiwa atau resonansi dawai-dawai hati yang membuat sesuatu menjadi bermakna, atau memiliki passion yang mampu tertangkap hati dan menjadi istimewa.
Bagi institusi Polri “greng”, para petugass polisi adalah kemanusiaan, keamanan, rasa aman, keadilan, dan keselamatan. Roh/jiwa dari pemolisian memang semestinya ada “greng” bagi warga masyarakat yang dilayaninya.
Membuat pemolisian memiliki “greng” diperlukan petugas-petugas polisi yang mencintai, bangga akan tugas dan pekerjaanya.
Ternyata, membuat rasa “greng” dalam suatu pekerjaan merupakan perjuangan. Karena itu, bukan kewajiban semata melainkan rasa tanggung jwab.
Ketika hanya sebatas kewajiban, maka ketika sudah tercapai tujuanya maka selesailah. Namun, dengan rasa akan timbul suatu kesadaran bahwa, suatu profesi bukan pokoknya tugas atau yang penting tugas.
Melainkan pekerjaan merupakan path/the way of live yang bukan hanya dimengerti tetapi harus dipahami, bukan semata dikerjakan tetapi dicintai.
Karena bekerja dengan hati akan ada rasa memiliki, rasa bertanggung jawab, rasa kebanggaan dan penuh dengan kesadaran untuk selalu menumbuh kembangkan.
Melakukan pekerjaan bukan smata-mata uang dan uang tetap ada sisi kemanusiaan yang tersirat maupun trsurat dari apa yang kita kerjakan.
Bekerja dengan hati akan membawa suatu pekerjaan mempunyai arti bagi hidup dan kehidupan.
Ketika tanpa hati, disitulah terasa adanya kekeringan yang menyebabkan kematian. Mati dalam arti, tidak lagi mempunyai spirit humaniora dan tidak lagi memberikan suatu inspirasi bagi kehidupan-kehidupan yang lainya.
Itu semua, produk dari pendidiikan. Ketika pendidikan yang dibangun dengan ala pendoktrinan seperti, “siap grak, istirahat ditempat grak”.
Maka yang terjadi adalah keseragaman berpikir. Otaknya bagai dicetak, atau dipaksa menjadi seperti barang cetakan.
Otak yang cetakan dapat dianalogikan bagi otak-otak jenis KW (palsu atau contekan yang tak lagi orisinil).
Tak ada lagi kebanggaan, selalau saja terseret arus mind stream, mengekor dan tidak inspiratif atau mungkin malah mendongkolkan.
Pendidikan bukan tempat penyiksaan, melainkan wadah yang membahagiakan sebagai tempat berkreasi dan berekspresi. Sehingga kita mampu memperbaiki produk cetakan dan menjadi orisinil karena menemukan jati diri sebenarnya.
Membuat polisi-polisi “greng” dalam tugasnya adalah dimulai dari lembaga-lembaga pendidikan yang dibangun atas dasar kesadaran, tanggung jawab dan disiplin.
Kesadaran petugas polisi yang bertugas sebagai pelindung pengayom dan pelayan masyaraakat serta aparat penegak hukum. Kesadaran inilah yang akan menjadi landasan tanggung jawab dan nilai-nilai kebanggaan yang dapat ditanamkan dalam hati sanubari para petugas polisi.
Tatkala kesadaran ini telah mendarah daging, maka otak dan hatinya akan menunjukan tanggung jawab dan disiplin. Disitulah ia tahu apa yang harus dilakukan atau diperbuatnya dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Selain itu, ia juga akan mencintai dan bangga akan pekerjaanya yang dapat memunculkan passion yang menjadi “greng” bagi masyarakat yang dilayaninya.(CDL-Jogjakarta07092014)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana