E-Policing Dan Revolusi Mental

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Epolicing bagian menuju Polri yang excellent sebagai super cops, yaitu Polisi yang hebat dan martabat, berkompetensi dan berhati nurani. Ini menunjukan, pemoloisian mampu menigkatkan harkat dan martabat manusia.

Konteks yang berkaitan dengan revolusi mental adalah Polisi mampu menjadi ikon kemanusiaan, ikon peradaban dan ikon bagi hidup dan kehidupan. Ini berarti, keberadaan polisi diterima dan mendapat dukungan yang tulus dari warga masyarakat.

Polisi yang dalam pemolisianya memberdayakan otak, otot  dan hati nuraninya dicurahkan bahkan rela berkorban demi warga yang dilayaninya agar dapat hidup aman, nyaman tenteram damai, tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman hambatan atau gangguan dalam hidup dan kehidupanya.

Selain, polisi mampu membangun peradaban yang ditandai adanya budaya patuh hukum.

Dengan membangun e-Policing revolusi mental dalam penyelenggaraan tugas polisi dimaknai sebagai perubahan yang mendasar dari mental pejabat dan aparat (yang dapat dikategorikan mental kolonial, feodal yang terbelit dalam birokrasi yang patrimonial, pendekatan-pendekatan personal yang berdampak pada pelayanan-pelayanan kepada publik yang buruk dan tumbuh dan berkembangnya KKN). Menuju mental aparat dan pejabat yang profesional, cerdas, bermoral, dan modern yang mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat yang dapat meningkatkan kualias hidup masyarakat.

Revolusi mental dalam implemenasi penyelenggaraan tugas Polri adalah, Polri yang mampu menjadi institusi yang excelent. Keberadaanya dapat ditrima  dan mendpatkan dukungan dari pemangku kepentingan dan mampu mmberikan  pelayanan prima kepada masyarakat yang cepat, tepat, akurat, akuntabel informatif  dan mudah diakses.

Kalau kita jujur, mau bercermin dan mawas diri bahwa sekarang ini banyak hal yang terbalik-balik nilai dan tatanan ygan hakiki sebagai polisi dengan orientasi-orientasi kedagingan, hedonisme, pangkat dan jabatan sebagai simbol kekuasaan atau kewenangan.

Inginya banyak pendapatan, walau tidak mampu memberi pendapat. Banyak tantangan walau tidak mampu mengatasi tantangan. Orientasinya pada tempat-tempat yang basah (mata air) tanpa pernah membasuh atau mengusap air mata masyarakatnya.

Trans Global

Semboyan WPOP (wani piro oleh piro), keberadaanya jadi membuat takut, membuat resah, nggapleki bagi masyarakat terutama kaum-kaum marginal yang rentan.

Pemolisian itu tidak mnyentuh hati sama sekali karena semangat WPOP dan UUD (ujung-ujungnya duit). Sehingga tidak lagi peka dan peduli akan kemanusiaan atau manusia lainya. Sing penting pung nak pung no (mumpung enak mumpung ono).

Gaya seperti ini dapat dianalogikan bagai model feodal, konvensional yang akibatnya bukan menjadi ikon positf, melainkan jadi bahan plesetan, anekdot dan kritikan yang social costnya sangat mahal bagi institusi.

Disinilah perlunya revolusi mental untuk menjadikan Polri menjadi ikon kmanusiaan yang lemah lembut dan rendah hati yang mampu melegakan beban atau menjadi jembatan atau mitra-sahabat yang aman, menyenangkan dan membawa manfaat.

Mendengar atau melihat ada Polisi, rasa aman menyelimuti dan menaungi seluruh warga, maka Polisi dengan Pemolisianya mampu menjadi ikon penjaga kehidupan, pembangun pradaban dan pejuang kemanusiaan.

Memperbaiki citra buruk, dimulai dari hal yang mendasar,  dari akarnya, yaitu dari profesionalismenya yang dapat dibangun dari kepemimpinan, admnistrasi dan personal serta capacity buildingnya.

Selan itu. juga moralitasnya dan kemampuan untuk mencari terobosan-terobosan baru (inovasi dan kretfitas) karena adanya berbagai keterbatasan.

Memperbaiki  citra bermakna juga membangun kepercayaan dengan membangun karakter yang dalam konteks ini dapat dipahami memilikii komitmen, kompetensi, dan keunggulan. Harapan kita !. (CDL-140914)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share