Putusan MK Perlu Dievaluasi

Para simpatsian di depan gedung MK.(dok)
Para simpatsian Prabowo-Hatta di depan gedung MK.(dok)

TRANSINDONESIA.CO – Pengamat politik dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik Banten Raya Hendriyana, MSi menyatakan putusan Mahkamah Konstitus (MK) terhadap sengketa Pilpres perlu dievaluasi.

“Putusan MK menolak semua gugatan yang diajukan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa cukup kontroversial, dan tidak ada salahnya dilakukan evaluasi,” katanya di Pandeglang, kemaren.

Walaupun, kata dia, apapun hasil evaluasi yang dilakukan tidak akan mengubah putusan yang telah dikeluarkan majelis hakim MK yang diketaui Hamdan Zoelva tersebut.

“Apapun hasilnya putusan MK harus diterima, dan tidak ada upaya hukum lain untuk melawannya karena MK mengadili pada tingkat pertama dan akhir serta putusannya bersifat mengikat,” katanya.

Evaluasi perlu dilakukan, untuk perbaikan pada masa mendatang, dan dari hasi evaluasi itu nantinya bisa dilakukan kritik terhadap putusan tersebut, misalnya perlunya catatan karena adanya pelanggaran yang dilakukan penyelenggara pilpres itu.

Sehingga, kata dia, ke depan putusan MK menyangkut sengketa pilpres tersebut jangan secara utuh dijadikan sebagai pijakan hukum ketika terjadi sengketa hasil pemilu, baik pilpres, pileg maupun pilkada.

“Jangan lupa tahun depan akan digelar pilkada baik gubernur maupun bupati/wali kota pada beberapa daerah, saya khawatir putusan MK ini dijadikan acuan ketika terjadi sengketa,” ujarnya.

Hendri juga menyayangkan, terhadap pelaksanaan sidang pembacaraan putusan pada hari yang sama antara Dewan Kehormatan Penyelenggaran Pemilu (DKPP) dengan MK.

“Harusnya DKPP dulu baru. Putusan DKPP nantinya bisa direkomendasikan ke MK dan dijadikan bahan pertimbangan majelis hakim dalam memutus sengketa pilres,” katanya.

Dari hasil sidang DKPP, kata dia, cukup banyak ditemukan pelanggaran dalam penyelenggaraan pilpres, diantaranya pembukaan kotak suara tanpa persetujuan dari MK.

Dalam UU No.42 tahun 2008, kata dia, jelas diatur pembukaan kota suara harus dengan persetujuan MK.

“Kita semua bisa lihat, majelis hakim MK tidak melihat hal itu sebagai suatu pelanggaran, dan karenanya menolak seluruh gugatan, makanya menurut saya putusannya kontrovesial dan perlu dievaluasi,” ujarnya.

Majelis hakim MK pada sidang di Jakarta, Kamis (21/8), menolak seluruh permohonan gugatan kubu calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa terhadap hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014.

Mahkamah menilai berdasarkan seluruh pertimbangan, mengenai dalil yang diajukan pemohon adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, tidak terbukti menurut hukum.

Demikian pula mengenai dalil lainnya, menurut Mahkamah, dalil pemohon tersebut juga tidak terbukti terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang secara signifikan mempengaruhi perolehan suara pemohon sehingga melampaui perolehan suara pihak terkait. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Dengan ditolaknya permohonan Prabowo-Hatta ini menguatkan keputusan KPU yang menyatakan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wapres terpilih 2014-2019.

Putusan ini juga menguatkan hasil rekapitulasi suara Komisi Pemilihan Umum pasangan Jokowi-JK meraih 71.107.184 suara (53,19 persen), unggul di 23 provinsi, sedangkan Prabowo-Hatta meraih 62.578.528 suara (46,81 persen) dan menang di 10 provinsi.(ant/her)

Share
Leave a comment