Budayawan: Pencitraan Jokowi Berlebihan

jokowi gak ngefek

TRANSINDONESIA.CO – Meningkatnya perolehan suara Prabowo Subianto dan cenderung mandeknya perolehan suara Joko Widodo dalam sejumlah survei calon presiden menunjukkan adanya gejala kejenuhan pada masyarakat.

Budayawan dan guru besar Universitas Jember, Jawa Timur, Ayu Sutarto, mengatakan, awalnya citra sosok Jokowi yang suka blusukan dan mau menyapa rakyat memang disenangi. Namun karena keunggulan dan citra Jokowi itu dieksploitasi berlebihan untuk menarik minat publik, hasilnya justru kontraproduktif.

“Sesuatu yang ‘too much’, berlebihan, akan bikin orang jadi capek, jadi eneg. Anda kalau minum air putih berlebihan kan juga sama, bisa bikin kelempoken (kekenyangan, bahasa Jawa),” kata Sutarto, saat dihubungi via ponsel, Rabu (25/6/2014).

Hal serupa juga bisa saja menimpa Prabowo. “Prabowo mestinya sudah mulai mengurangi kebiasaan ngomong tentang mimpi-mimpi besar. Orang dari dulu sudah sering dijejali banyak hal mulai dari kesejahteraan, kemakmuran, dan lain-lain. Sekarang ini, orang memilih itu hanya berdasarkan rasa: kira-kira enak yang mana, ya itu yang dipilih,” kata pria yang pernah menulis soal folklor pada masa Soekarno dan Soeharto ini.

Di lain pihak, saat pencitraan Jokowi yang berlebihan sudah mulai membuat jenuh masyarakat, sosok Prabowo dengan latar belakang militer mulai memunculkan harapan. “Pilihan orang sekarang bukan lagi berdasarkan ideologi, tapi orientasi prosperity (kemakmuran) dan security (keamanan). Mereka butuh sosok kuat dan itu selalu diasosiasikan pada militer,” kata Prabowo.

Sutarto mengingatkan citra militer dalam benak rakyat masih sangat kuat. Ia mengingatkan rezim militer pernah berkuasa selama tiga dasawarsa. Selama itu pula rakyat merasakan adanya stabilitas keamanan. Hal itu yang diharapkan pada sosok Prabowo dan membuat isu mengenai pelanggaran hak asasi manusia 1998 tak laku. “Rakyat berpikir sangat sederhana. Mereka berkesimpulan, dulu saat dipimpin Pak Harto lebih enak dan aman,” katanya.

Sutarto menyesalkan situasi di mana kandidat presiden mengangkat kelemahan lawan dan melakukan pembunuhan karakter. Ini membuat program kerja yang ditawarkan mereka tidak begitu mendapat perhatian masyarakat. “Ini bukan pendidikan politik yang baik. Kita sedih,” katanya.

Melihat kondisi saat ini, Sutarto tak berani meramal siapa yang bakal terpilih menjadi presiden. Semua bisa berubah sewaktu-waktu. Yang jelas, ia melihat dalam hal gerakan dan strategi pemenangan, Prabowo lebih tertata.

“Yang satu (Jokowi) agak defensif, dan yang satunya (Prabowo) diam tapi agresif. Lompatan Prabowo ini sangat mengagetkan. Dukungan mengalir. Kita tidak pernah tahu bagaimana prosesnya, tahu-tahu sudah jadi. Well organised, well programmed. Titik-titik sasaran sudah diinventarisasi,” kata Sutarto.

“Kita tidak pernah berpikir kalau Pak Mahfud MD mau menjadi tim pemenangan Prabowo, tahu-tahu sudah jadi. Kita tidak pernah berpikir kalau Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj akan memberikan dukungan pribadi ke Prabowo, tahu-tahu mendukung,” tambah Sutarto.(brj/ats)

Share
Leave a comment